Etnobotani
Etnobotani (dari “etnologi” – kajian mengenai budaya, dan “botani” – kajian mengenai tumbuhan) adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dan tumbuhan.Penelitian etnobotani diawali oleh para ahli botani yang memfokuskan tentang persepsi ekonomi dari suatu tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat lokal. Ahli etnobotani bertugas mendokumentasikan dan menjelaskankan hubungan kompleks antara budaya dan penggunaan tumbuhan dengan fokus utama pada bagaimana tumbuhan digunakan, dikelola, dan dipersepsikan pada berbagai lingkungan masyarakat, misalnya sebagai makanan, obat, praktik keagamaan, kosmetik, pewarna, tekstil, pakaian, konstruksi, alat, mata uang, sastra, ritual, serta kehidupan sosial.Kini ilmu etnobotani mengarah kepada sasaran untuk mengembangkan sistem pengetahuan masyarakat lokal terhadap tanaman obat sehingga dapat menemukan senyawa kimia baru yang berguna dalam pembuatan obat-obatan modern untuk menyembuhkan penyakit-penyakit berbahaya seperti kanker, AIDS dan jenis penyakit lainnya.
Ilmu etnobotani akan sangat efektif apabila
diterapkan pada masyarakat lokal. Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan
terhadap masyarakat setempat.Para ahli etnobotani terlebih dahulu harus
mengetahui nama-nama tumbuhan yang akan dipelajari, selain nama latin,
mengetahui nama sebutan suatu tumbuhan di suatu daerah juga penting.
Setelah itu para ahli dapat mempelajari pemafaatan tumbuhan tersebut
dalam bidang ekonomi tanpa mengabaikan faktor ekologisnya. Setelah itu
studi lanjutan dapat dilakukan dengan lebih spesifik dan terfokus dengan
mengumpulkan sejumlah informasi lain.
Berikut adalah perkembangan sejarah etnobotani:- 1492: Colombus menemukan pemanfaatan tembakau (Nicotiana tabacum) di Cuba. Kolonisasi yang memiliki kepentingan ekonomi sekaligus eksplorasi keilmuan (1663-1870)
- 1873-1980: muncul ilmu etnobotani
- 1873: Power menulis buku tentang aboriginal botany
- 1895: Harsberger menulis tentang ethnobotany
- 1900: Davis Barrow muncul sebagai doktor etnobotani pertama ‘The Ethnobotany of the Coahuilla Indian of Southern California’
- 1920: Publikasi tanaman obat di India
- 1980: etnobotani dikenal oleh masyarakat akademis dan awam
- 1981: jurnal etnobotani. Pada dekade terakhir diterbitkan beberapa jurnal hasil penelitian etnobotani: Journal of Ethnobiology, Journal of Ethnopharmacology, Ethnobotany, Ethnoecology
- 1983: Perhimpunan Masyarakat Etnobotani yang diprakarsai oleh Perhimpunan Arkeologi Amerika
Pada abad ke-18, Rumphius telah membuat Herbarium
Amboinense yang kemudian mengarah ke ekonomi botani. Kemudian Hasskarl
pada tahun 1845 telah mencatat penggunaan lebih dari 900 jenis tumbuhan
Indonesia.[2] Tahun 1982 dibangun museum etnobotani di Balai
Penelitian Botani-Puslit Biologi, LIPI. Selanjutnya setiap tiga tahun
sekali diadakan seminar atau lokakarya etnobotani, sampai akhirnya pada
tahun 1998 tercapailah Masyarakat Etnobotani Indonesia. Beberapa
perguruan tinggi, seperti Institut Pertanian Bogor dan Universitas
Indonesia, kini membangun program pascasarjana mengenai etnobotani.
Namun masalah yang timbul dewasa ini adalah kurangnya pendekatan
partisipatif yang memungkinkan peneliti diterima di lingkungan
masyarakat lokal untuk mengurangi hambatan kultural.
Di Afrika, pemerintah telah fokus pada
pengetahuan tentang sistem pertanian tradisional masyarakat lokal untuk
menunjang pembangunan pertanian bagi masyarakat pedesaan. Sementara
Australia juga fokus mempelajari cara-cara tradisional dalam pengelolaan
tumbuhan dengan memperhatikan aspek ekologis.Di Amerika, penelitian
yang paling banyak dilakukan adalah penelitian mengenai etnobotani
(sekitar 41%). Di Asia, peneliti lebih memfokuskan untuk mendapatkan
senyawa kimia baru untuk bahan obat-obatan.Etnobotani juga mengalami
perkembangan yang sangat pesat terutama di beberapa negara seperti
Amerika, India, China, Vietnam dan Malaysia.
Persiapan
Sebelum tumbuhan dimanfaatkan, perlu diketahui
terlebih dahulu informasi kegunaan tumbuhan tersebut.Untuk mendapatkan
informasi itu dapat dilakukan identifikasi dengan pembuatan herbarium
dan membuat catatan lapangan.Setelah pemanfaatan dilakukan tahap
konservasi yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam
yang telah digunakan.
Herbarium
Langkah pembuatan herbarium di lapangan diawali
dengan pemberian label, kemudian dibungkus koran dan dimasukkan plastik
kedap udara, lalu ditambahkan alkohol 70%. Setelah itu dilanjutkan
dengan pembuatan herbarium di laboratorium yang diawali dengan
penggantian koran.Setelah itu dioven pada suhu 60 °C selama 2-7 hari,
kemudian dimasukkan ke lemari pendingin -20 °C selama 1-2 minggu.
Setelah itu baru disusun dalam kertas herbarium yang berukuran sekitar
30X40cm, pemberian label, dan disimpan dalam Ruang Koleksi Herbarium.
Langkah ini kemudian diakhiri dengan identifikasi, yaitu pencocokan
koleksi di Herbarium Nasional/internasional dan dibandingkan dengan
spesimen tipe atau publikasi pertama, kemudian membuat referensi.
Konservasi
Konservasi adalah pengelolaan/pemeliharaan
kualitas lingkungan, sumberdaya dan keseimbangan antar komponen
lingkungan di suatu kawasan dengan menerapkan prinsip
keberlanjutan.Konservasi mencakup aspek perlindungan, penelitian dan
pemanfaatan secara lestari dalam tingkat ekosistem, jenis dan genetik.
Konservasi dapat dilakukan secara in situ maupun ex situ.
Konservasi in situ dilakukan di dalam habitat
aslinya, misalanya dengan pembuatan taman nasional dan hutan
lindung.Suku talang mamak dan Suku anak dalam memiliki kearifan lokal
dalam mengelola sumber daya alam, mereka juga dapat dikatakan melaukan
konservasi in situ. Sedangkan konservasi ex situ merupakan komplemen
dari konservasi in situ.Konservasi ex situ dilakukan di luar habitat
aslinya, misalnya dengan pembangunan kebun raya, kebun botani, atau
taman hutan raya. Di Indonesia terdapat beberapa kebun raya, baik yang
sudah beroperasi maupun yang sedang dibangun, yaitu :
- Kebun Raya Bogor
- Kebun Raya Cibodas
- Kebun Raya Purwodadi
- Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali
- Di Jawa: Kebun Raya Kuningan dan Kebun Raya Baturaden
- Di Sumatra: Kebun raya Liwa, Jambi, Pulau Samosir, dan Batam
- Di Kalimantan: Kebun Raya Sambas, Sanggau, Balikpapan, dan Katingan
- Di Sulawesi: Kebun Raya Enrekang, Puca, dan Tomohon
Aplikasi
Aplikasi etnobotani memiliki dua aspek penting, yaitu:
- Botani Ekonomi, yaitu aplikasi etnobotani untuk membantu mengembangkan perekonomoan suatu daerah dalam berbagai bidang, seperti bidang pertanian, seni, dan farmasi. Pada bidang pertanian dilakukan identifikasi manfaat jenis tumbuhan tertentu dan konservasi secara tradisional.[5] Di bidang seni dan kerajinan dilakukan pengembangan sumber pendapatan dengan membuat suatu kerjinan tertentu menggunakan tumbuhan yang terdapat di lingkungan sekitar. Sedangkan pada bidang farmasi dilakukan identifikasi fitokimia berdasarkan pengetahuan tradisional.
- Ekologi, yang meliputi pengelolaan dan pemanfaatan tumbuhan yang dilakukan secara lestari dan tidak merusak alam, serta praktik konservasi guna mempertahankan keanekaragaman hayati.[5]
Skala komersial
Pada skala komersial, informasi etnobotani dapat dimanfaatkan untuk industri, pestisida hayati, obat, pangan, dan pembuatan minuman.
Kopi, teh, aren, dan lontar adalah contoh tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam bidang industri, sedangkan Pohon neem (Azadirachta indica)
dapat dimanfaatkan sebagai pestisida hayati. Untuk obat dapat digunakan
beberapa tumbuhan seperti nanas, lidah buaya, petai, pepaya, kunyit,
dan asam jawa. Untuk pangan dapat memanfaatkan tumbuhan seperti gandum,
kentang, padi, jagung, ubi jalar, singkong, dan sagu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar