Kumpulan Puisi Alam Bebas
Anak Gunung
by wizurai on September 16, 2008
Sepasang mata burung awasi kami dari gunung
Sesaat lenyap melekat pada kulit-kulit kayu yang murung
:langit berubah warna
Warna api dan asap-asap mimpi
Sepasang batu kali dari mata air kami jadikan kalung
sesaat bening terkena air mata penjaga hutan yang mati bertarung
:tanah berubah dingin
Dingin kabut dan matras-matras butut
Malam ini kami berbicara
Melingkar membakar lelah untuk dijadikan bara
Malam ini kami penuh dahaga
Berbaring mengecap titik-titik air langit yang berjelaga
Biarkan kami habiskan malam
Bersama pekat dan bintang bintang bisu
Biarkan juga kami bercengkrama dengan alam
Bersama lagu dan pohon-pohon yang tertidur lesu
(terasa angin jilati kuping-kuping kami)
Sementara kami bersedih
Mengingat kawan mati oleh sepasang mata burung
(langit tak lagi bersedih tapi malah meludahi kami)
Sunyi seketika berbunyi
Langkah-langkah kaki berlari
Berjejal tubuh-tubuh basah dalam tenda kami
(Malam tak restui kami mengingat kawan-kawan yang telah mati. Langit masih meludah, api masih menyala, pohon-pohon masih tertidur dan sepasang mata burung masih terjaga)
Belukar
orang lupa
siapa dia
siapa aku
kami pohon
dia daun
aku daun
rimbun
aku teduh
dia teduh
tiada gaduh
kami pohon
persetanlah dunia
aku mau
dia mau
kami setuju
aku akar
dia akar
menyatu jadi belukar
Malam Gelombang Malam
syair mati di tengah malam
entah tertidur, entah binasa
tapi gelombang sunyi malam ini seakan menyisakan sayatan luka
dari memori malam
malam itu
di bawah remang bulan
di atas gemerisik rumput yang bernyanyi
daun-daun pohon kemboja juga bernyanyi
seakan tak pernah terjamah
ini malam
sama
malam itu
Kepada Sepasang Capung Merah
bersama kepakan sayap-sayapmu,
terbang tinggi di atas sebuah padang hijau.
sepasang capung merah, terbang
di bawah birunya langit harapan,
berkejaran sebagai mahligai kecintaan yang melambung tinggi
dalam angan dan impian.
sesaat kujemput pagi ini
dengan senyum dan detak jantung berirama,
kutatap langit biru,
julihat setitik warna merah berpasangan,
kulihat seberkas gairah yang berkejaran
pada birunya rona langit pagi ini.
sebuah pagiku ….. bersama sebentuk kejenuhan,
kulempar pada sepasang capung merah.
seraya kubisikkan dengan liri “usiklah gairah kecintaanku ini”
dengan warna merahmu, seperti musim dingin
yang mengugurkan bunga-bunga sakura.
seperti juga kerinduan ini akan bersemi,
karena kusambut sosok bayangnya,
walau dari mimpi dan sudut keinginan yang mana.
kepada sepasang capung merah,
bawalah bisikan ku itu terbang,
dan singgahkanlah pada tempat yang jauh.
agar dapat kubersembunyi
dari pagi yang sesak dan penuh kegamangan.
terbanglah …….
dan marilah kita jelang impian kita sendiri-sendiri.
Membaca Sebuah Pagi
menyentuh pucuk-pucuk rumput berembun
tumpah terderai, lirih
tanpa suara singgah ke telinga orang-orang.
Udara dingin
langit biru mengambang awan putih tertunda
derak-derak kabut tipis seterngahnya tertumpah
ke bawah,
setengah terbawa angin ke atas mega-mega.
Sepi, belum beranjak
jauh tingkah lengking burung-burung pagi
menghamba cahaya-cahaya hangat
masih belum ada.
Sungguh pagi ini masih tertambat pada sepi,
menunggu terbuka hangat mentari dan
tepuk riang burung-burung pagi.
Dia belum ada pagi ini,
masih terlelap dalam gamang mimpi malam
dan percik-percik birahi tengah malam
yang cabul dan penuh kepalsuan.
Dia tak ada, mati
terderak dalam bisu kebinasaan
manusianya terampas setan ….
Benar kata Ibuku “dia tak berhak membaca pagi”
Bunga-bunga Kopi Menebar Senyum
Kala itu waktu pagi yang remang
dan masih berselimut kabut.
sebuah penggunungan yang sepi dengan kebun-kebun kopi,
masih sepi …
hening dan tiada keraguan untuk menyambut pagi
bagi sepasang capung merah yang bersiap terbang di langit biru.
“sekarang adalah musim kopi”
“besok pagi singgahlah ke pondok kebun kami,
akan kuhidangkan kopi terbaik tahun lalu”
setelah itu pastinya akan kau ceritakan tentang kebersamaan
kita yang tinggal kenangan.
pagi ini, kau sambut aku di depan pondok kebun kopimu
kau tersenyum, melambaikan tangan sambil berkata
“singgahlah..barangkali dengan secangkir kopi
bisa mencairkan kebekuan yang setelah kita lama berpisah”
Sesaat … semua hening, kemudian beranjak
riuh oleh suara burung-burung liar.
Sejenak bertemu pandang, bertukar jejak kenangan pada
pelupuk mata,
engkau tersenyum manis padaku, terlihat aku tergetar
oleh senyum yang sama tiga tahun lalu.
“Bunga-bunga kopi tiga bulan yang lalu telah tersenyum padaku,
aku tahu engkau akan kembali”
“aku percaya cinta yang tulus tidak akan terpisahkan
hanya karena ketidakdewasaan kita”
“kini temanilah aku memetik biji-biji kopi di kebun ini,
semoga di musim yang akan datang, jika bunga-bunga kopi
tersenyum, itu adalah karena kita telah bersama kembali”
Sesaat hening, di luar mentari merambat naik.
sementara aku terlarut dalam kegamangan,
menunda untuk berkata, berpikir dan merasakan
apa yang terjadi, sementara
senyumnya tiada putus menghiasi sosoknya yang
anggun dengan kecantikan yang tulus.
Dalam hati aku berkata “sialan,
kenapa aku harus jatuh cinta lagi”
dan masih berselimut kabut.
sebuah penggunungan yang sepi dengan kebun-kebun kopi,
masih sepi …
hening dan tiada keraguan untuk menyambut pagi
bagi sepasang capung merah yang bersiap terbang di langit biru.
“sekarang adalah musim kopi”
“besok pagi singgahlah ke pondok kebun kami,
akan kuhidangkan kopi terbaik tahun lalu”
setelah itu pastinya akan kau ceritakan tentang kebersamaan
kita yang tinggal kenangan.
pagi ini, kau sambut aku di depan pondok kebun kopimu
kau tersenyum, melambaikan tangan sambil berkata
“singgahlah..barangkali dengan secangkir kopi
bisa mencairkan kebekuan yang setelah kita lama berpisah”
Sesaat … semua hening, kemudian beranjak
riuh oleh suara burung-burung liar.
Sejenak bertemu pandang, bertukar jejak kenangan pada
pelupuk mata,
engkau tersenyum manis padaku, terlihat aku tergetar
oleh senyum yang sama tiga tahun lalu.
“Bunga-bunga kopi tiga bulan yang lalu telah tersenyum padaku,
aku tahu engkau akan kembali”
“aku percaya cinta yang tulus tidak akan terpisahkan
hanya karena ketidakdewasaan kita”
“kini temanilah aku memetik biji-biji kopi di kebun ini,
semoga di musim yang akan datang, jika bunga-bunga kopi
tersenyum, itu adalah karena kita telah bersama kembali”
Sesaat hening, di luar mentari merambat naik.
sementara aku terlarut dalam kegamangan,
menunda untuk berkata, berpikir dan merasakan
apa yang terjadi, sementara
senyumnya tiada putus menghiasi sosoknya yang
anggun dengan kecantikan yang tulus.
Dalam hati aku berkata “sialan,
kenapa aku harus jatuh cinta lagi”
GUNUNG
By: Katuralisme
Friday, December 31, 2004
Aku ingin seperti gunung yang tegar, tenang penuh kebijaksanaan.Ketika marah di hantamnya tanah-tanah dengan ganas lewat laharnya yang panas,namun marahnya bukan merusak tapi membangun kembali kesuburan tanah yang telah lama hilang di lahap mulut –mulut lapar dari mahluk yang bernama manusia.
Dari jauh tubuhnya yang kekar begitu perkasa mencakar langit, bajunya yang disulam dengan benang warna hijau biru sangat indah di pandang mata .
Aku ingin seperti gunung yang penuh kehangatan mendekap hewan-hewan dan tumbuhan yang dalam dekapanya semua terlindung dalam damai.Di tubuhnya kesejukan menebar dengan aromanya yang mempesona,kesegaran memancar dengan derasnya .
Dengan tangannya yang lembut dia selimuti tubuh-tubuh yang terlelap dalam dekapanya dengan kabut.Lagu-lagu nina bobo yang melantun dalam suasana hening makin melelapkan mata.
Aku ingin seperti gunung yang yang penuh kerendahan bersujud di depan singgasana Sang Raja.Aku ingin seperti gunung yang dari bibirnya terlantun puji-pujian yang berasal dari sungai –sungai jiwanya dengan penuh khusyuk
LAUT YANG RAMAI
by Ayi Jufridar
Laut mendadak ramai
deburan ombak terseret angin
ke tengah samudera itu
sedang di bibir pantai
orang saja menari-nari
Laut mengundang sehamparan gunung samudera
datanglah dari penjuru segala
melihat kami menari
menjelang akhir sodorkan air
ketika tubuh bermandi peluh
tapi jangan suguhkan seudati*)
sebab ia sudah mati
Datang,
datanglah dari penjuru segala
ramaikan laut kami yang sepi
dengan lagumu yang sarat cinta
Lhokseumawe, Juni 2005
*) nama tarian terkenal Aceh
ANGIN LAUT
by Kuntowijoyo
Perahu yang membawamu
telah kembali
entah ke mana
angin laut mendorongnya ke ujung dunia
Engkau tidak mengerti juga
Duduklah
Ombak yang selalu
pulang dan pergi.
Seperti engkau
mereka berdiri di pantai
menantikan
barangkali
seseorang akan datang dan menebak teka-teki itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar